Kabupaten Lampung Barat adalah salah satu
pemekaran dari Lampung Utara, yang beribu kota di Liwa. Pemilihan Liwa sebagai
Ibu Kota Kabupaten Lampung Barat memang tepat. Beberapa alasan memperkuat
pernyataan ini adalah:
- Tempatnya strategis karena berada di tengah-tengah wilayah Lampung Barat, sehingga untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh daerah Lampung Barat oleh pemerintah kabupaten akan relatif efektif
- Liwa merupakan persimpangan lalu lintas jalan darat dari berbagai arah yaitu Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung sendiri. Tentang asal-usul nama Liwa, menurut cerita orang, berasal dari kata-kata "meli iwa" (bahasa Lampung), artinya membeli ikan. Konon dahulunya Liwa merupakan daerah yang subur, persawahan yang luas, sehingga hasil pertaniannya melimpah. Liwa juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung.
Sekala Beghak, Asal Muasal
Sekala Beghak (biasa ditulis Skala Brak),
adalah kawasan yang sampai kini dapat disaksikan warisan peradabannya. Kawasan
ini boleh dibilang kawasan yang “sudah hidup” sejak masa prasejarah. Batu-batu
menhir mensitus dan tersebar di sejumlah titik di Lampung Barat. Bukti, ada
tanda kehidupan menyejarah.
Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar,
Liwa berangka tahun 966 Saka atau tahun 1074 Masehi, menunjukkan ada jejak
Hindu di kawasan tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan
jalan Zaman Hindu. Ada lagi disebut-sebut bahwa Kenali yang dikenal sekarang
sebagai Ibu Kota Kecamatan Belunguh, adalah bekas kerajaan bernama “Kendali”
dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab Tiongkok Kuno”.
Kata “Sapalananlinda” oleh L. C. Westenenk ditafsir sebagai berasal dari kata
“Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina. Jadi bukan nama orang
tapi gelar penyebutan. Buku itu konon juga menyebut, bahwa Kendali itu berada
di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454–464
Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt
(Wikipedia Indonesia, 2007).
Meski belum seluruhnya terbaca, namun
dapat disimpulkan: di situ tercatat suatu peradaban panjang. Suatu kawasan tua
yang mencatatkan diri dalam sejarah umat manusia. Di wilayah ini pula pernah
berdiri sebuah kerajaan. Ada yang menyebut kerajaan tersebut adalah Kerajaan
Tulang Bawang, namun bukti-bukti keberadaannya sulit ditemukan. Sedang keyakinan
yang terus hidup dan dipertahankan masyarakat khususnya di Lampung Barat serta
keturunan mereka yang tersebar hingga seluruh wilayah Sumatera Selatan,
menyebutkan Kerajaan Sekala Beghak. Pendapat ini juga disokong oleh keberadaan
para raja yang bergelar Sai Batin, hingga bukti-bukti bangunan dan alat-alat
kebesaran kerajaan, upacara, dan seni tradisi yang masih terjaga. Masih banyak
bukti lain, namun perlu pembahasan terpisah.
Kalau membaca peta Provinsi Lampung
sekarang, kisaran lokasi pusat Sekala Beghak berada di hampir seluruh wilayah
Kabupaten Lampung Barat, sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan
Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan. “Pusat kerajaan” meliputi daerah
pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak,
Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit.
Sebagai kesatuan politik Kerajaan Sekala
Beghak telah berakhir. Tetapi, sebagai kesatuan budaya (cultural based)
keberadaannya turun-temurun diwarisi melalui sejarah panjang yang menggurat
kuat dan terbaca makna-maknanya hingga saat ini. Sekala Beghak dalam gelaran
peta Tanah Lampung, pastilah tertoreh warna tegas, termasuk sebaran pengaruh
kebudayaannya sampai saat ini.
Tata kehidupan berbasis adat tradisi
Sekala Beghak juga masih dipertahankan dan dikembangkan. Terutama, Sekala
Beghak setelah dalam pengaruh “Empat Umpu” penyebar agama Islam dan lahirnya
masyarakat adat Sai Batin. Adat dan tradisi terus diacu dalam tata hidup
keseharian masyarakat pendukungnya dan dapat menjadi salah satu sumber
inspirasi dan motivasi pengembangan nilai budaya bangsa.
Hasil pembacaan atas segala yang ada
dalam masyarakat berkebudayaan Sai Batin di Lampung, memperlihatkan kedudukan
dan posisi penting Sekala Beghak sebagai satuan peradaban yang lengkap dan terwariskan.
Keberadaan Sekala Beghak tampak sangat benderang dalam peta kebudayaan Sai
Batin, sebagai satu tiang sangga utama pembangun masyarakat Lampung. Bahkan,
telah diakui, Sekala Beghak sebagai cikal bakal atau asal muasal tertua leluhur
“orang Lampung”. Bahkan keberadaan Sekala Beghak, berada dalam kisaran waktu
strategis perubahan peradaban besar di Nusantara, dari Hindu ke Islam.
Seperti dikutip Harian KOMPAS, (11
Desember 2006:36), pada abad 15 datang empat kelompok masyarakat yang menduduki
sekitar Danau Ranau. Di sebelah barat danau dihuni orang-orang yang datang dari
Pagaruyung Sumatera Barat dipimpin Dipati Alam Padang. Sementara itu, tiga
kelompok lainnya berasal dari Sekala Beghak. Tiga kelompok orang-orang Sekala
Beghak itu dipimpin Raja Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan Diway), menempati
sisi timur danau. Di sisi timur danau pula, kelompok yang dipimpin Pangeran
Liang Batu dan Pahlawan Sawangan (berasal dari Kepaksian Nyekhupa) bertempat.
Sementara kelompok yang dipimpin Umpu Sijadi Helau menempati sisi utara danau.
Empu Sijadi Helau yang disebut-sebut itu bukan Umpu Jadi putra Ratu Buay
Pernong, yang menjadi pewaris takhta Buay Pernong. Kemungkinan besar Umpu
Sijadi di daerah Ranau tersebut adalah keturunan Kepaksian Pernong yang
meninggalkan Kepaksian dan mendirikan negeri baru di Tenumbang kemudian menjadi
Marga Tenumbang.
Ketiga kelompok dari Sekala Beghak ini
kemudian berbaur dan menempati kawasan Banding Agung, Pematang Ribu, dan
Warkuk. Sampai sekarang banyak orang Banding Agung mengaku keturunan Paksi Pak
Sekala Beghak. Di samping itu, ada kisah-kisah perpindahan orang Sekala Beghak,
sebagaimana ditulis dalam Wikipedia (7/3/07: 04.02), yang dipimpin Pangeran
Tongkok Podang, Puyan Rakian, Puyang Nayan Sakti, Puyang Naga Berisang, Ratu Pikulun
Siba, Adipati Raja Ngandum, dan sebagainya. Bahkan, daerah Cikoneng di Banten
ada daerah yang diberikan kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kepaksian Belunguh
atas jasa-jasanya, dan banyak orang Sekala Beghak yang migrasi ke sana atau
sebaliknya. Kisah-kisah ini memperkuat suatu kenyataan bahwa Sekala Beghak
tidak hanya sebagai sumber muasal secara geografis, melainkan juga sumber
kultur masyarakat. Sekala Beghak adalah hulu suatu kebudayaan masyarakat. Dari
Sekala Beghak ini juga lahir huruf Lampung yaitu Kaganga. Bagi sebuah
kebudayaan, memiliki bahasa dan aksara sendiri merupakan bukti kebesaran masa
lalu kebudayaan tersebut. Di Indonesia hanya sedikit kebudayaan yang memiliki
aksara sendiri, yaitu Batak, Lampung (Sumatera Selatan), Jawa, Sunda, Bali, dan
Bugis. Dan kebudayaan yang memiliki aksara sendiri dapat dikategorikan sebagai
kebudayaan unggul. Karena bahasa merupakan alat komunikasi sekaligus simbol
kemajuan peradaban.
Semua aksara Nusantara tersebut berasal
dari bahasa Palava, yang berinduk pada bahasa Brahmi di India. Bahasa Palava
digunakan di India dan Asia Tenggara. Di Nusantara, bahasa ini mengalami
penyebaran dan pengembangan, bermula dari bahasa Kawi, sebagai induk bahasa
Nusantara. Dari bahasa Kawi menjadi bahasa: Jawa (Hanacaraka), Bali, Surat
Batak, Lampung/Sumatera Selatan (Kaganga), dan Bugis. Dari Kerajaan Sekala
Beghak yang telah memiliki unsur-unsur “kebudayaan lengkap” ini pulalah
“ideologi” Sai Batin dilahirkan dan disebarluaskan. Sampai saat ini, masih
banyak yang bisa dibaca dari jejak-jejak yang tertinggal. Baik dari jejak fisik
maupun jejak yang tidak kasat mata. Dari legenda, seni budaya, adat tata cara,
bahasa lisan tulisan, artefak benda peninggalan, hingga falsafah hidup masih
ada runut rujukannya. Dari Sekala Beghak itu di kemudian hari pengaruh budaya
dan peradabannya berkembang dan berpengaruh luas ke seluruh Lampung bahkan
sampai ke Komering di Sumatera Selatan sekarang. Tidak terhitung kemudian
“pendukung budaya”-nya yang tersebar di seluruh Indonesia pada masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar